(Pertama terbit dalam bahasa Inggris dengan judul “Higher”, dalam antologi TRASH, bagian trio HEAT FLESH TRASH, terbitan Fixi Novo.)
.
SUDAH berhari-hari jendela tidak dibuka dan tirai tidak disingkap. Aroma cengkeh dan ganja meliuk di udara bersama musik yang memompa ruangan. Tiga puluh cowok dan lima cewek di dalam kamar terserak di lantai dan di sofa bertotol bekas sundut rokok. Wajah mereka lelah tapi riang-gembira, kepala mereka bergerak-gerak penuh semangat. Pemandangan di luar jendela menunjukkan bangunan gelap dan gemerlap lampu Jakarta utara.
Malam Minggu, akhir pekan terakhir sebelum Ramadan, kesempatan terakhir untuk memuas-muaskan diri sebelum berpuasa minggu depan. Sejak Jumat mereka berpindah-pindah dari ruang karaoke ini, ruang dansa di lantai puncak, dan klab di sebelah. Beberapa orang malah sudah di sini sejak Rabu—ada yang ke kantor pagi-pagi dan kembali sore-sore, ada yang pura-pura sakit, ada yang lupa mereka punya pekerjaan.
Semua orang di kamar ini terhubung ke Patar. Adisti, Ferdian, dan Risa kenal dia sejak SMU, cowok yang pingsan di kamar tidur yang tersembunyi di balik kamar mandi adalah teman kerjanya, cowok-cowok yang joget di atas meja adalah tetangganya. Karena itulah, ketika Patar keluar dari kamar mandi, segar, sudah berganti baju, dan berkata dia harus pergi menemui Lani, pacarnya selama enam tahun terakhir, semua langsung mengeluh.
“Lho, Tar, ini kan acara lu.”
“Bilang aja lu sakit.”
Tidak ada yang menyarankan Patar mengajak Lani untuk bergabung dengan mereka. Mereka semua tahu Patar menemui Lani kala ingin ‘lurus’ dan menemui orang-orang di kamar ini kala ingin ‘kacau’. Adisti dan Risa, pada kesempatan berbeda, pernah tidur bareng Patar—dengan siapa lagi bisa menyelusuri gairah muda dengan aman, selain dengan orang-orang yang kaupercaya? Ketika bertemu Lani di pesta pernikahan atau acara makan-makan, Adisti dan Risa berbincang ringan dengannya tentang mode atau berita.
“Muka basi begitu mau lu sembunyiin di mana?” kata Risa. Mulutnya sudah penuh sariawan. Rahangnya tak mau berhenti gemeletuk dan, sejak ia kehabisan permen karet tadi sore, tanpa sadar ia menggerus giginya.
Patar tidak khawatir. “Gue udah janji mau nonton sama Lani sebelum kalian minta gue pesan kamar ini, dan gue enggak pernah ingkar janji sama dia. Habis nonton, gue antar dia pulang, terus gue langsung balik ke sini.”
Adisti menarik lengannya. “Jangan tinggalin gue.”
“Kan ada Ferdian.”
Dari lima perempuan di sana, tiga di antaranya punya pacar di kamar itu, jadi hanya ia dan Risa yang bisa jadi target. Tetapi Adisti percaya tidak akan ada yang berani mengganggunya, sebab ia teman dekat Patar dan Ferdian.
Patar berahang besar dan bergaris-garis wajah kasar. Matanya yang lebar dan garang serta cambangnya yang panjang membuatnya kelihatan makin seksi. Ferdian tinggi walau agak gemuk, cewek-cewek menyukainya karena kulitnya putih, wajahnya klimis dan manis, dan sikapnya santai. Adisti kelihatan nyaman dengan gaun oranye longgar, kalung hitam, dan gelang berlian tiruan. Ia rajin melukis, tapi malas memikirkan pakaian, maka ia memutuskan selalu memakai gaun supaya senantiasa terlihat cantik tanpa harus berusaha. Lain lagi dengan Risa yang penampilannya dipoles dengan susah payah, rambutnya yang dicat kecokelatan jatuh berombak di bahunya, sebuah kalung mutiara kuning tergantung di atas gaun hitam ketatnya. Risa seorang wartawan, biasanya ia hanya singgah beberapa jam di pesta-pesta Patar, makanya Adisti heran kali ini ia tinggal sampai dua hari. Mungkin ia memang sedang mengerjakan tugas, pikir Adistis, tadi ia melihat Risa bicara dengan satpam klab.
Adisti menutup mata dan sesosok bayang datang mengambang. Ikhsan. Terakhir kali mereka ke klab ini, sekelompok pekerja seks usia SMU menghadang mereka dan membisikkan sesuatu di telinga Ikhsan.
Ikhsan meraih lengan Adisti dan mengusapnya sambil meminta maaf kepada mereka.
Salah seorang perempuan tadi maju mendekati Adisti. “Mbak, dia pacar Mbak ya?”
“Iya.”
“Maaf ya, Mbak, kita enggak tahu,” kata cewek itu, kemudian menggiring teman-temannya pergi.
Saat itu November tahun lalu. Ikhsan meninggalkannya bulan Februari. Sekarang bulan Juni. Namun, Adisti masih saja menjangkau kenangan-kenangannya bersama Ikhsan untuk membuatnya tersenyum. Dibiarkannya dirinya hanyut, dan Ikhsan pun di sini lagi, dan yang dulu menjadi kini lagi.
*
KETIKA Risa pertama kali minta supaya Patar mengundangnya ke pestanya, rok panjang dan kacamata bundarnya membuat Patar berkata, “Gue enggak tahu apa maksud lu.”
Risa mengejarnya. “Lagak anak baik gue cuma supaya orangtua enggak banyak tanya. Lu pasti mengerti dong.”
Setelah mengundangnya beberapa kali ke pesta karaoke, lalu ke bar, Patar akhirnya mengundangnya juga ke pesta-pesta seperti ini. Ketika pertama datang ke klab ini, Risa mendapat ide untuk menulis artikel tentang masyarakat miskin perkotaan yang mencari nafkah di tempat-tempat seperti ini, yang menggelar hal-hal yang di luar ajaran agama atau norma-norma yang biasanya diajarkan ke mereka. Ia ingin bertanya pada bartender apakah ia merasa tak apa-apa menyajikan alkohol saat bulan puasa nanti; apa ia suka pekerjaannya atau digaji lebih besar daripada tetangganya yang bekerja sebagai pesuruh kantor atau petugas kebersihan di mal, dan karena itu apakah ia lebih dihormati di kampung? Ia ingin tanya petugas loker bagaimana ia merasa tiap kali seorang bapak-bapak meminta tasnya sambil menggandeng seorang pekerja seks belasan tahun; apakah petugas loker itu masuk kerja tiap malam meredam nuraninya?; apakah ia pulang tiap pagi merasa lega telah memenuhi kewajiban untuk menghidupi anak-istri?; apakah ia pikir, ‘Biar orang-orang ini dapat dunia, saya dapat akhirat?’; ataukah ia sudah terbiasa dan tidak peduli lagi? Lalu, jika mereka melihat pejabat atau orang-orang terkenal melakukan sesuatu yang bisa jadi skandal, apa yang mencegah mereka mengadu ke tabloid atau polisi? Apakah pernah terbersit mereka sebenarnya punya daya untuk meruntuhkan anggota kaum elit, ataukah perasaan tak berdaya tertanam begitu kuat dalam diri mereka?
Risa bimbang bagaimana cara meyakinkan mereka agar membuka diri kepadanya. Jadi ia pikir karena sudah di sini, sebaiknya naik saja dulu. Sejauh ini yang berhasil ia kumpulkan: petugas kamar mandi perempuan sudah bekerja di sana enam tahun, penyapu lantai dibayar empat ratus ribu per bulan, dan bartendernya muslim dan akan berpuasa begitu Ramadan tiba.
Patar membisikkan sesuatu ke Ferdian kemudian meninggalkan ruangan.
“Mampus Patar,” kata Ferdian, menjatuhkan diri di sebelah Risa. “Lani makin curiga.”
“Masa?”
“Kamu tahu enggak bokapnya polisi? Nyokapnya mengajar sekolah Minggu? Aku enggak bisa bayangin apa jadinya Patar kalau Lani sampai bilang mama-papa.”
Ferdian juga punya pacar—teman sekantor asal Sunda yang memakai jilbab. Ferdian sudah memberitahu orangtuanya di Padang tentang betapa baik, pengasih, dan saleh pacarnya itu. Reaksi mereka: “Bagus, Nak, tapi kami lebih suka kamu menikah dengan perempuan Minang.”
Disentuhnya dagu Risa. “Gigi kamu gemeletuk. Mau permen karet?”
Risa menerimanya. “Kamu selalu baik sama aku.”
Ferdian menyelusuri garis-garis tangan Risa dengan jemarinya. “Tanganmu keringatan. Kamu enggak apa-apa?”
“Tanganku selalu keringatan. Kamu ingat terakhir kali kita ke sini?”
Ferdian mengangguk.
*
SEBULAN yang lalu. Risa mencoba menghindari seorang polisi muda, kenalan Patar, yang semalaman mengejar-ngejarnya.
“Aku baru balik dari Palembang,” kata si polisi ketika akhirnya menemukan Risa di lantai dansa utama, di depan DJ yang mengisar sulapnya di atas panggung perak tinggi. Di belakangnya seekor gurita raksasa menyemburkan sulur-sulur hijau dan ungu ke seluruh penjuru ruangan. “Kita tangkap penjahat di sana, terus kita bawa balik ke Jakarta. Stres.”
“Jadi malam ini pelepasan nih? Oke deh.”
“Kamu cantik banget. Tadi aku kira kamu mantan pacar aku.”
“Bisa aja.”
“Serius. Kalau butuh apa-apa, bilang ya. Aku bisa bawa kamu masuk ke klab mana aja, minum gratis semalaman. Aku juga yang dapat tempat itu buat kita.”
Ditunjuknya balkon terluas di lantai dua tempat kelompok mereka berkumpul.
Waktu itu Risa pikir, dia lebih suka dirajam daripada pergi dengan polisi muda ini yang baginya adalah perwujudan segala yang menjijikkan tentang Indonesia. Diperasnya otak mencari cara untuk kabur tanpa menyinggung si polisi. Risa cemas akan keselamatannya.
Untung Ferdian datang. “Nih air buat kamu, Ris.”
“Kalian pacaran?” tanya si polisi muda.
Cepat-cepat Risa mengangguk.
“Waduh.” Ditepuknya pundak Ferdian. “Bro, maaf ya, gue enggak tahu.” Ia meninggalkan mereka berdua.
Dari belakang Ferdian menyelipkan lengannya di sekeliling pinggang Risa dan berbisik, “Mesra sedikit enggak apa-apa kan?”
Risa berbalik. Bibir mereka saling bersambut bagai besi dan magnet. Risa tahu ia seharusnya tidak melakukannya, tapi rasanya sangat alami, sangat pas.
“Kamu tahu kan aku naksir kamu selama SMU? Makanya kamu selalu pinjam buku catatan aku. Kamu tahu aku bakal selalu kasih pinjam.”
“Yang benar?”
“Aku tulis ulang semua catatanku supaya rapi dan lengkap. Kamu kembalikan dengan remah-remah kue di antara halamannya.”
“Gue enggak sangka orang seperti kamu bisa suka orang seperti aku.”
Mereka berciuman lagi. Sekitar pukul tujuh pagi Ferdian melirik arlojinya. “Aku mesti ketemu klien jam sembilan. Pulang yuk.”
“Masih kencang nih. Enggak bisa ditunda?”
“Sayangnya enggak.”
Risa tahu Ferdian tidak seperti Patar yang sering berkata, “Kalau gue selingkuh, itu cuma selingkuh tubuh, bukan selingkuh hati.” Risa tahu Ferdian hanya akan mengantarnya pulang, kemudian mandi dan pergi menemui kliennya. Risa tidak akan merayunya untuk tidur dengannya. Tetapi ada sesuatu di suara Ferdian yang membuat Risa ingin pergi dari klab ini, menjauh dari kelompok mereka, dari polisi tadi, dari cowok di sana yang berdansa sendiri menatap langit-langit dengan mata putih semua karena pupilnya sudah membalik ke dalam kepalanya. Mungkin sebaiknya ia pulang. Tidur. Kemudian ajak Ferdian makan malam. Lihat apakah ia berniat meninggalkan pacarnya demi dirinya.
“Sori ya, aku janji enggak bakal tinggalkan Adisti.”
Senin berikutnya Ferdian menelepon. Biasanya ia tak pernah menelepon kalau tidak ada perlu. Risa bicara tentang bagaimana ia memastikan Adisti pulang dengan selamat, tentang kapan mereka mau jalan lagi. Setelah percakapan berakhir Risa memutuskan: Ferdian menelepon sebab ingin tahu apakah ada masalah di antara mereka, tak mungkin ia menelepon untuk mengajaknya jalan berdua, atau cari tahu apakah ciuman semalam bermakna sesuatu bagi Risa. Risa yakin Ferdian tahu orang macam apa dia. Cowok-cowok seperti Ferdian tidak pernah menjadikan cewek-cewek seperti Risa pacar resmi mereka. Risa telah meyakinkannya tidak ada masalah di antara mereka, mereka dapat melupakan apa yang terjadi, ia tak akan membahayakan hubungan Ferdian dan pacarnya. Gampang. Ia telah melakukan hal yang benar.
*
PUKUL sembilan Ferdian merasakan getaran di kantung celananya. Ia, Risa, dan Adisti sedang berdansa di lantai utama klab, tentakel hijau gurita raksasa membelai wajah mereka.
“Apa, Tar?” kata Ferdian.
“Filmnya udah selesai, tapi Lani enggak mau pulang. Gue bilang habis ini gue mau ketemu teman-teman, eh dia ngotot mau ketemu kalian.”
“Terus gimana?”
“Bisa enggak lu ke tempat es krim yang buka sampai tengah malam di Senayan? Kita ngobrol di sana setengah jam, terus gue antar dia pulang.”
“Lu bawa dia ke kafe di lantai satu aja.”
“Gila apa? Enggak bakal Lani gue bawa ke sana.”
“Terus?”
“Balik ke kamar gih. Tanya ada enggak yang mau ketemu gue di Senayan.”
“Bikin repot aja lu, Tar!” keluh Ferdian. Ia lantas menarik lengan Risa dan Adisti. “Balik sebentar yuk.”
Adisti tersentak dari lamunannya. Bingung dan kehilangan arah, ia mengikuti Ferdian yang menuntunnya dan Risa keluar dari klab. Udara sarat asap rokok berganti angin segar bercampur bau sampah. Orang-orang datang menawarkan taksi, anak-anak kecil dengan tangan menengadah bergerombol ke sekitar mereka. Di antara mereka Adisti melihat seorang ibu dengan rambut kelabu berkonde menggendong bayi dengan selendang batik pudar.
“Mbak, kasihan…”
Adisti nyaris tertawa. Ibu pengemis itu selalu ada tiap kali dia ke klab itu. Selalu dengan bayi di selendangnya yang sepertinya tak pernah bertambah besar. Adisti menyentakkan lengannya dari pegangan Ferdian, lalu merogoh ke dalam tas.
Anak-anak tadi bersorak. “Sini, sini, yang ini mau kasih!”
Adisti ingat terakhir kali dia ke sini dengan Ikhsan, ia memberi ibu ini sepuluh ribu rupiah. Adisti mencari lembaran sepuluh ribu di dalam dompetnya, tapi hanya menemukan lembaran lima puluh ribu. Dia kesal sekali. “Maaf.”
“Lho Mbak, gimana sih?”
“Maaf, saya bukan Ikhsan. Kalau saya Ikhsan pasti saya kasih.”
Adisti lari menjauh dari ibu dan anak-anak itu. Klab ini, kota ini dipenuhi ranjau kenangan bersama Ikhsan. Setiap kali Adisti melihat si ibu pengemis, restoran pizza kesukaan mereka, atau warung tempat mereka beli bir, yang lalu meledak mengaburkan yang kini. Suatu malam Ikhsan duduk di halte bus oranye di dekat rumah kos Adisti, menunggunya untuk menyampaikan sebuah kabar lucu yang tidak ingin ia sampaikan melalui SMS. Wajahnya langsung cerah begitu melihat Adisti. Saat itu bulan Desember, tapi sampai kini Adisti masih melihatnya di sana setiap malam, meneguk air dari botol plastik, menunggunya menyampaikan kabar lucu itu. Sama seperti Ikhsan masih di klab ini, di jalan ini, memberi ibu pengemis itu sepuluh ribu rupiah.
Ikhsan aktivis kemanusiaan dan penghasilannya tak banyak. Ketika mereka kencan sering Adisti yang bayar. Terakhir kali mereka ke klab ini Ikhsan membelikannya sebutir X, tapi kemudian ia minta uangnya kembali.
“Serius?” teriak Adisti.
“Iya. Aku kehabisan uang. Aku mesti beli air.”
Tetap saja, tak pernah sekalipun ia tidak memberi pada pengemis yang menghampirinya. Sejak Ikhsan meninggalkannya, Adisti pun selalu memberi kepada pengemis. Ketika ia memberi, ia melihat lengan Ikhsan terjulur. Ikhsan ada di sana melaluinya. Dan dunia bercahaya di sekelilingnya—seperti kapan saja ia bersama Ikhsan—seolah bintang-bintang tiba-tiba jatuh dari langit dan bergantung semeter di atas kepala mereka.
Adisti menatap kalung hitam dan gelang berlian tiruannya. Ikhsan pernah tanya kenapa ia tak suka pakai perhiasan.
“Gayaku sederhana,” jawab Adisti.
“Kamu pasti cantik pakai kalung atau anting.”
Adisti tak tahan pakai anting, tetapi setelah Ikhsan meninggalkannya ia beli beberapa kalung dan gelang, dan sekarang ia pakai perhiasan ke mana-mana. Seolah hendak berkata: inilah jejak-jejak yang kautinggalkan pada diriku. Inilah aku sejak dirimu. Kau pikir dengan meninggalkanku kau bisa menghapus kehadiranmu dalam diriku? Aku tak lagi memeluk tubuhmu, tapi bayangmu kumiliki selamanya. Sejak pertama kali kauceritakan kisah hidupmu di bawah pantat Hanoman di Pancoran, kutahu tiap lelaki setelahmu akan jadi seperti pemain cadangan, seorang sulih, sebuah substitusi parsial. Akan kucari serpih-serpih dirimu dalam diri mereka—seorang pekerja kemanusiaan, seorang yang memakai kalung dari tali, seorang dengan garut luka gergaji di tangan kiri, seorang sarjana hukum, seorang dari kota kecil di utara Jawa, seorang yang napasnya beraroma Mentos, yang selalu mengakhiri pesan telepon dengan ‘xxxx’… Mungkin jika kukumpulkan serpih demi serpih dari semua laki-laki itu akan kutemukan kembali dirimu. Atau aku bisa saja terus memberi pengemis sepuluh ribu rupiah, lagi dan lagi, menghidupkanmu, menghidupkan kita. Akan kubekukan bayangmu dalam kanvas, dalam dinding-dinding kota, lagi dan lagi, hingga hasilnya pas. Mungkin dengan begitu, mengetahui kau takkan lenyap, aku bisa mengesampingkanmu. Sebab jika kau lenyap, Ikhsan, jika aku melupakanmu, sebagaimana mereka suruh, maka seiris diriku akan lenyap bersamamu. Dan aku takkan bisa lagi menjelaskan siapa aku.
*
“KALAU kamu enggak percaya aku, buat apa jadi tunangan aku?” Patar berteriak seraya ia dan Lani berjalan keluar dari bioskop di Jakarta selatan. Lampu-lampu neon ungu panjang menerangi anak tangga di depan mereka. Kesal, Patar berlari turun. Kemudian ia sadar tangga itu bisa jadi terlalu curam bagi Lani yang memakai hak tinggi, maka ia naik lagi untuk menuntunnya.
“Bukannya enggak percaya, aku cuma mau ketemu teman-teman kamu. Kamu ketemu mereka tiap Jumat, tapi aku cuma kenal Ferdian, Adisti, dan Risa.”
Mereka tiba di tempat parkir yang menghadap jalan raya Senayan. Petugas parkir berseragam oranye mendorong mobil-mobil yang menghalangi jalan keluar.
“Pulang aja yuk.”
Lani menarik lepas tangannya. “Enggak! Kamu telepon mereka sekarang. Buktikan kamu enggak sembunyikan apa-apa.” Ia masuk ke mobilnya. “Atau hubungan kita sampai di sini aja.”
“Kamu gila ya?”
Lani merebut kunci mobilnya dari tangan Patar dan masuk ke mobil. Dihidupkannya mesin.
Patar tertegun, membayangkan pacarnya masuk ruangan tempat tiga puluh lima teman-temannya menatapnya dengan mata mencuat dan gigi gemeletuk sambil terus menggosok-gosok wajah karena merasa kulit mereka terbakar. Dia mau bilang apa kalau Lani tanya kenapa pestanya diadakan di tempat karaoke yang jorok? Di sebelah klab narkoba?
Diteleponnya Ferdian dan menjauh dari mobil. “Halo. Ada yang mau ketemu kita di Senayan enggak?”
Di ruang karaoke Ferdian menggeleng. “Sori, enggak ada yang mau.”
Patar menyumpah. “Kalau begitu Lani gue bawa ke sana.”
“Lu gila?”
“Dia ancam mau putus.”
Seorang cowok di sebelah Ferdian teriak, “Itu Patar? Kapan dia balik?”
“Dia bakal bawa Lani ke sini,” kata Ferdian.
“Apa?” teriak cowok itu. “Jangan dong!”
“Ya udah deh, Tar, lu enggak usah balik,” teriak seorang yang lain.
“Kita enggak mau berkorban demi lu.”
“Sadar enggak sih lu? Bokapnya polisi!”
“Iya, kita enggak mau ngedrop cuma demi pacar lu.”
Di pelataran parkir Patar berasap saking marahnya. “Setan lu semua!”
Seseorang menyabet telepon Ferdian dan berkata, “Gini deh. Lu kasih aja dia obat diam-diam. Syukur-syukur dia pingsan sebelum sampai ke sini.”
“Ide bagus tuh.” Di dalam mobil Lani memberi Patar tatapan dingin. “Oke, siap-siap ya.”
Ia kembali ke mobil. “Oke, say, aku udah bilang ke teman-teman kita menuju ke tempat mereka kumpul. Tapi aku lapar nih, bisa enggak kita makan dulu?”
Lani memeluknya dan membisikkan terima kasih. Ia bergeser ke kursi penumpang.
Setelah menghidupkan mesin, Patar meraba sepaket bubuk di kantung celananya.
*
BEBERAPA menit lewat pukul setengah sebelas Ferdian menerima pesan dari Patar. “Eh semua, Patar sama Lani udah dekat.”
“Setaaaaan!” bergelegar di ruangan.
Beberapa orang bergegas mencuci muka, seorang cewek menyiram air untuk menghapus bekas muntahan di kamar mandi, cowok-cowok yang memakai kacamata hitam kabur ke ruang dansa di lantai puncak. Ferdian berkeliling, meminta orang-orang yang berdansa supaya duduk, dan menepuk pundak pasangan yang berciuman dengan terlalu panas. Risa memunguti botol-botol kosong di lantai dan membuangnya ke tempat sampah. Adisti menghidupkan lampu, menyemprotkan pewangi udara, menghidupkan televisi, dan mengganti mode stereo dari trance ke karaoke.
Beberapa menit kemudian pintu diketuk.
Orang-orang di ruangan itu duduk dengan tegang, menatap pintu. Adisti, Risa, dan beberapa yang lain berbaris di hadapan pintu seperti pemain bola di depan gawang sebelum tendangan bebas.
“Siap?” tanya Ferdian. Ia memberi signal pada semua, lalu membuka pintu.
Mereka lihat Patar dan Lani berdiri di ambang pintu. Sejenak detak jantung mereka terhenti.
Risa dan Adisti menghambur. “Laaanniiiiiii! Apa kabar?”
Lani jatuh ke pelukan Adisti. “Apa kabar, Dis?” Ia pindah ke Risa. “Udah lama enggak ketemu.”
Di belakang pundaknya, Risa bertukar pandang lega dengan Adisti. Tampaknya Lani lebih teler daripada mereka berdua.
Adisti menuntunnya ke sofa, tanya apa dia mau menyanyi, apa dia capek. Lani menyandarkan kepalanya di bahu Adisti. Ia memberi isyarat pada Ferdian untuk meredupkan lampu. Kadang-kadang ia merasa kasihan pada Lani. Kadang-kadang ia merasa Lani sengaja tak ingin tahu kegiatan rahasia pacarnya. Tiba-tiba Adisti ingin menepuk pipinya dan berteriak, ‘Bangun! Lihat sekelilingmu. Kalau kamu terus menutup mata, kamu pantas ditipu. Di dunia ini orang yang kaupikir mencintaimu bisa menyelipkan narkoba ke teh manismu atau meninggalkanmu tanpa alasan yang jelas. Kamu bisa bangun suatu pagi dan sadar orang yang kaucintai ternyata sama sekali tak kaukenal. Kenapa aku harus kasihan padamu sementara ada ibu-ibu dengan bayi mengemis di luar?’
Sepuluh menit kemudian Lani jatuh tertidur.
*
MENJELANG tengah malam. Seorang cowok menyanyikan versi disko sebuah lagu populer, beberapa yang lain berjoget di belakangnya. Di sofa Adisti menatap layar hijau ponselnya, ada pesan dari Ikhsan: Halo, Dis. Sebentar lagi bulan puasa nih. Aku mau minta maaf kalau selama ini aku menyakitimu.
Jika pernah aku akan memaafkanmu, inilah saatnya, pikir Adisti, Allah tidak akan memaafkan mereka yang tak memaafkan sesama. Diketiknya: Aku maafkan. Aku juga minta maaf.
Di ujung sofa Risa menggerutu pada Ferdian: “Aku menyerah. Tadi aku coba ajak ngobrol tukang sapu di klab. Aku kira dia bakal ramah dong sama aku—seenggaknya aku lihat dia ada. Tapi dia kasar banget. ‘Ngapain nanya-nanya?’ bentaknya.”
“Kenapa dia mesti ramah sama kamu? Kamu buang satu juta cuma buat bikin kacau otak semalam, sementara dia mesti pel muntahan kamu selama sebulan dan enggak dapat segitu.”
“Iya sih. Kamu ketemu cewekmu besok?”
Ferdian menggeleng. “Dia di Bandung bareng orangtuanya. Coba kamu ajak ngobrol petugas kamar mandi sebelum pulang. Kamu bilang mereka suka sarapan di lemari alat-alat kebersihan di kamar mandi cewek?”
“Iya. Cewek-cewek muntah di wastafel, sementara mereka duduk-duduk santai makan nasi uduk.”
“Bilang aja kamu lapar, tapi ogah pesan makanan di klab, soalnya mahal banget. Minta beliin nasi uduk, kasih mereka kembaliannya. Habis itu kan kamu harus ikut sembunyi di lemari alat kebersihan. Nah, terus kalian ngobrol deh.”
“Wah, trims, Ferdi! Ide cemerlang tuh.”
Ferdian merebahkan kepalanya di bahu Risa. Sejak mereka berciuman sebulan yang lalu, Ferdian sempat membayangkan seperti apa rasanya berkencan dengan Risa, apa yang akan Risa katakan jika ia memintanya jadi pacarnya. Ferdian yakin Risa tahu apa yang harus dia perbuat.
Di luar sana ada kewajiban yang harus kita penuhi, harapan orangtua yang harus kita puaskan. Di luar sana kita berperahu di sungai sebab-akibat yang tanpa ampun mendorong kita maju, tapi di kamar-kamar seperti ini kita bisa menyuntikkan masa lalu ke masa kini, membungkus masa kini dalam gelembung, dan menjorokkan masa depan ke luar jendela. Di kamar-kamar seperti ini Ferdian dan Risa dapat saling menggenggam tangan.
*
PATAR keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah Lani. Diciumnya rambut Lani yang wangi taman bunga melati. Patar tidak merokok, jadi kapan saja bau cengkeh atau ganja menyesakkannya, ia berlindung di rambut Lani. ‘Bukannya aku enggak mau bawa kamu ke sini,’ kata hatinya, ‘aku cuma mau lindungi kamu. Kalau kamu tahu dunia ini seperti apa, kamu juga enggak bakal mau ke sini.’ Ia berbisik di telinganya, “Say, kita mesti pulang. Sebentar lagi jam dua belas. Nanti orangtuamu khawatir.”
Lani melingkarkan lengannya di bahu Patar tanpa membuka mata.
“Enggak apa-apa. Terus tidur. Nanti aku bangunin kalau udah dekat.” Dengan hati-hati digendongnya Lani seperti pengantin.
Saat mereka lihat Patar dan Lani bangkit, semua orang terdiam. Adisti, Risa, dan Ferdian bangkit.
“Dadaah sama Adisti, Ferdian, Risa,” kata Patar.
Lani melambaikan tangan dengan mata terpejam.
Adisti, Ferdian, dan Risa melambai balik.
Ruangan itu menahan napas seraya Patar berjalan ke pintu. Ketika akhirnya tertutup di belakangnya, sorak lega membahana. Orang-orang berdansa lagi, berciuman lagi, menyulut cimenk lagi.
Ferdian mengembuskan napas lega.
“Ke atas?” usul Risa.
Mereka bersorak dengan semangat. Ferdian merogoh saku celana dan mengeluarkan tiga bintik putih di telapak tangan. Masing-masing menelan satu, kemudian mengambil sebotol air. Sambil bergandengan tangan mereka keluar dari kamar karaoke dan naik tangga ke ruang dansa di lantai puncak. Dalam gelap hari berganti, tapi yang mereka lihat hanya kilat-kilat biru menyambar, yang mereka dengar hanya musik berdentum semakin keras dan keras, dan mereka lari menyambutnya semakin cepat dan cepat, naik dan terus naik, dengan tiap langkah semakin tinggi dan tinggi.
1 Comment