Pagi Harinya Aku Teringat…

(Pertama terbit di majalah Femina, edisi Oktober 2018.)

SUATU PAGI, DIA pergi, seperti dia tidak pernah ada, dan aku ingin mati.

Namun, aku malah mengisi koper dan pergi ke Prancis. Aku tinggal di Bordeaux, karena aku ingin melihat garis-garis perkebunan anggur mengusung cakrawala dan melupakan segala tentang birunya lautan tempat dia dulu membawaku. Mungkin jika laut itu hijau, semua ini takkan terjadi.

Ternyata, kota itu sama sekali tidak hijau. Ia sesak dengan gedung apartemen dan toko-toko tua. Di hotel, aku berdiri di balkon, menatap ke bawah, ke jalan yang sama abu-abunya dengan atap-atap, dinding-dinding, dan seluruh dunia. Sesekali kulihat seorang laki-laki, jauh di bawah sana, melambai dengan genit agar aku terjun kepadanya. Aku tidak bisa benar-benar melihat wajahnya, tetapi aku merasa dia pasti tampan, karena dia terselubung aura misteri. Dia terus-menerus memanggilku.

Tetapi orang lain datang kepadaku.

Malam sudah larut dan klab Le Bubble adalah tungku tubuh-tubuh yang bergoyang, membakar setiap inci lantai dansa yang dilukis dengan gelembung-gelembung sabun.

Matanya menangkap mataku dari seberang ruangan. Dengan sikunya ia membuka jalan ke hadapanku. Mata hijaunya adalah warna pertama yang kulihat dalam dunia kelabu ini.

Bercinta dengan Etienne bagai membunuh naga di tengah lidah-lidah api yang menari, sekaligus berlari di padang rumput yang bermandi embun pagi. Tiap kali kubuka mata, ia menuangkan dirinya kepadaku bagai bijih besi merah panas.

Pagi harinya, kuelus punggungnya sehalus lereng ski, ia mengucapkan selamat pagi penuh sayang, dan aku tahu aku harus pergi ke Paris.

2

Aku suka Paris karena aku bisa naik ke puncak menara Eiffel dan merasa seperti gadis tercantik di dunia. Aku bisa kelaparan dan merasa kenyang dengan melahap pemandangan lampu-lampu sepanjang Sungai Seine. Setiap kali aku merasa ingin mati, kuingatkan diri bahwa masih ada suatu sudut di Paris yang belum kukunjungi.

Suatu malam aku berjalan pulang dari studio yang kusewa bersama lima penulis lain. Jalanan becek dan gelap. Sepatu botku yang tua dan bocor terbenam dalam genangan, kaus kakiku basah, dan aku menggigil. Aku hanya ingin pulang dan mengubur diri di bawah lapis-lapis selimut.

Tiba-tiba: “Eliza!”

Aku tersentak keluar dari kulitku dan menoleh. Di seberang jalan, di depan sebuah gedung apartemen, seorang perempuan paruh baya berdiri, menatap menembusku.

Aku tidak salah. Ia memanggil namaku: E-li-za.

Dia bahkan tidak mengucapkannya dengan cara Prancis, tapi Eliza dengan “z” bergema kuat di udara. Tidak ada orang lain di jalan. Kutatap kembali perempuan itu, mencoba menebak apakah aku mengenalnya.

Tidak. Mungkin dia memanggil seseorang di dalam gedung. Mungkin putrinya—seorang gadis yang baru-baru ini belajar merias diri dan menghabiskan waktu tanpa akhir di depan cermin, menunda semua rencana ibunya.

Siapa pun yang dipanggilnya, ibu itu tidak memanggilku. Ia mungkin bahkan tidak melihatku. Tidak ada yang memanggil namaku di Paris. Bahkan mereka yang memanggil Eliza, mereka selalu memanggil orang lain.

Awan musim dingin membuat segalanya hitam. Kuputuskan aku butuh sinar matahari, aku pun menuju padang pasir.

3

Setelah seharian berkendara menembus gurun, kami berjalan-jalan di bawah bulan purnama di dermaga tempat banyak perahu putih berlabuh di Port el Kantaoui.

Pemanduku, Youssef, meremas dan mencium tanganku.

Aku menatap ke laut, dan melihat Maut berselancar di atas ombak.

Youssef bertanya apakah aku masih ingin mati.  

Aku bisa saja berkata, Tadi siang, ketika aku melihat belukar berguling di atas pasir, aku melihatnya seolah-olah dalam gerakan lambat, berguling dan berguling, menembus padang keemasan yang menghampar luas, begitu ringan, riang, dan bebas, dan aku berpikir, hidup bisa jadi seperti itu, aku bisa saja terus hidup.

Tetapi aku hanya diam.

Aku cuma berkata: “Yuk kita menyelinap ke salah satu perahu dan bercinta.”

4

Mungkin aku membutuhkan bimbingan spiritual, maka aku pergi berziarah ke Delphi. Pagi-pagi sekali aku menyibak kabut gunung dan mendaki ke tempat kudus Athena Pronaia, dan Maut mengiringiku beberapa meter di bawah tebing. Untuk menggodanya, kukibaskan rambutku yang panjang, tebal, halus, dan senantiasa berkilau, bahkan setelah aku mengabaikannya sekian lama.

Di sini para peziarah kuno biasa berdoa sambil menunggu giliran memasuki kuil Apollo. Aku duduk di blok marmer yang menguning, menatap tiga tiang penyintas gempuran zaman dan gunung di belakangnya. Setelah itu, aku mencuci tangan dan wajah di mata air Castalia. Konon, siapa pun yang meminum airnya akan menjadi bijak. Dan aku minum, sebanyak mungkin sebelum merasa kembung. Kulihat bahkan seorang anak kecil membotolkannya.

Di altar Apollo, peziarah mesti mengorbankan sesuatu yang berharga dan menuang anggur. Kutebas rambutku. Kutuang anggur yang kubawa dalam botol air. Aku hanya bisa berharap, Apollo menghargai pengorbananku.

“Apollo yang agung, dewa kesembuhan,” aku memohon, “akankah aku bisa pulang?”

5

Kutemui diriku di New York, dan Nando datang mengetuk pintu rumahku.

Dia bilang dia sudah baca buku yang kutulis. “Kamu pasti pintar,” katanya, “coba jelaskan, apa itu Tuhan?”

Sejak itu kami berlayar menembus angkasa, menyelami perpustakaan demi perpustakaan, mereguk halaman demi halaman, mencari Tuhan di tiap lekuk aksara dan ruang antarkata.

Suatu malam aku mengisi tas dengan kondom dan berlari ke tempatnya, nyaris terjungkal tong sampah yang tergulir dan ranting-ranting yang berguguran. Kami mencari Tuhan selama beberapa saat, lalu kukatakan bibirku benar-benar kering dan aku berusaha menemukan pelembap di dalam tas. Kutumpahkan isi tasku ke tempat tidurnya. Kondom berwarna pelangi tersebar di sprei hitam.

Dia berkata, “Boleh aku minta? Aku mau ke pesta nanti. ”

“Aku bukan perempuan di hadapanmu?”

“Kau bisa jadi apa saja yang kauinginkan.”

“Lalu kenapa kau tidak membiarkanku bunuh diri?”

Dia hanya menggandeng tanganku dan membawaku naik mobil.

Kami mengarungi jalan-jalan raya, cerminan angkasa malam, hingga aku melihat garis-garisnya tampak seperti “aku” (I) yang menjulang. Nando mengikuti garis-garisnya dari New York ke Hong Kong. Aku mengikuti garis-garisku ke Melbourne.

6

Ketika kami tiba, bar itu sudah mau tutup, tetapi mereka membiarkan aku dan Ragnar minum sampai mereka selesai bersih-bersih. Mereka memberi kami martini di dalam gelas plastik.

Malam itu, di bar di atap gedung itu, aku menebar pandangan mencari Maut.

Maut tidak memanggil, aku sadar. Benarkah aku telah bebas darinya? Atau mungkin, dia lebih dekat daripada yang kukira—mungkin Maut adalah perempuan yang enggan dikejar oleh para pemujanya dan hendak mengejar sendiri kekasih yang ingin dipeluknya, mungkin Maut akan merenggutku begitu aku tidak lagi menginginkannya, seperti saat ini, saat aku memeluk Ragnar seperti ini dan menyayangi setiap remah kehidupan.

Aku melangkah ke tepi gedung dan bergeming.

Orang bilang, malam sebelum pernikahanmu semua cinta yang pernah singgah dalam hidupmu melintas di benakmu.

Di zaman Yunani Kuno, perempuan yang mati perawan disebut pengantin Hades, dewa neraka.

7

Kadang-kadang aku membayangkan semua pria yang pernah menyentuh hidupku berkumpul di satu ruangan: Etienne, Youssef, Nando, Ragnar, Kei, Declan, Arman… ciuman dan belaian menyapu sekujur tubuhku.

Terkadang para perempuan yang berkumpul.

Alyssa, detektif belia yang tinggal di sebuah desa tersembunyi. Lisa, gadis punk yang menyelamatkan sekolahnya dari dibakar oleh geng saingan. Elly, yang mengejar bintang jatuh dan menyelamatkan bumi dari krisis energi. Julita, mahasiswa yang mencari kebebasan sejati pada awal masa Reformasi. Mia, yang terjebak dalam cinta yang brutal dengan ayah dan khayalannya. Nova, yang meledakkan seluruh rezim otoriter jadi abu.

Mereka adalah irisan-irisan diriku, atau tokoh-tokoh dalam novel-novelku, atau beberapa orang asing yang kutemui di hostel anak muda di Bangkok. Pilihlah realitasmu sendiri.

Kami minum kopi di dasar samudra, di Palung Mariana, menatap nuansa-nuansa biru di atas kepala.

Alyssa berkata, “Apakah kamu lupa siapa dirimu?”

“Perempuan yang aku dambakan tidak ada di sini lagi—mungkin aku tidak ingin menjadi dirinya lagi,” jawabku.

Lisa dalam jaket kulitnya bertanya, “Kau ingin jadi perempuan yang seperti apa? Lihatlah, sekarang kau dan aku sangat berbeda. Kau memakai rok, dan bagiku rok bukanlah pilihan.”

“Ya,” aku duduk di tengah mereka semua, “pada waktu itu, rok adalah tanda kepatuhan, pada peraturan orangtua, pada citra feminin yang umum. Tapi sekarang, memakai rok adalah keputusanku. Namun, aku kehilangan energi yang selama ini kurasakan.”

“Kau merasa tidak seproduktif sebelumnya?” tanya Elly.

“Aku rindu merasa kuat lagi—kuat dan berani sepertimu, dan tak butuh siapa-siapa untuk merasa bahagia.”

“Aku tahu kau merindukannya,” kata Mia.

“Tadinya kupikir jika kami bersatu, aku tidak akan perlu bersembunyi lagi. Kupikir kami, yang begitu serupa satu sama lain, akan bisa saling mendukung dengan saling mencintai.”

“Kau sebaiknya berhenti menyaring realitas sehingga cocok dengan plot yang kaurencanakan,” kata Julita. “Jika kau terus melakukannya, kau hanya akan menipu diri sendiri.”

Aku mengistirahatkan kepala di pangkuannya. Dia membelah dan mengelus rambutku.

“Selama ini aku senantiasa mengawasi diri sendiri, memonitor tiap gerak-gerikku dan menilainya. Aku hidup begitu terpencil dalam kulitku sendiri, tubuhku berjalan dari panggung ke panggung, seluruh hidupku bagai teater pinggir jalan tanpa kerumunan. Aku merasa tanganku senantiasa menggapai, tanpa pernah menyentuh seorang pun. Aku hanya tahu berpura-pura dan bersembunyi.”

“Mungkin ini saatnya kau menunjukkan dirimu kepada dunia, betapapun penuh perban, seperti yang kulakukan,” kata Nova. “Itu satu-satunya cara untuk menemukan seseorang yang benar-benar mencintaimu.”

“Aku khawatir jika ia, mereka, tahu diriku seluruhnya seperti apa, mereka takkan menyukaiku lagi.”

“Jika kau terus berpura-pura, itu adalah pengkhianatan dua arah—kau mengkhianati diri sendiri dan mengkhianati mereka,” kata Julita.

Aku memeriksa bayanganku di arus air jernih dan melihat banyak mata menatap balik kepadaku.

Mungkin orang yang pergi di awal cerita ini sebenarnya tidak meninggalkanku dan aku tidak ingin mati. Mungkin aku yang meninggalkannya karena ingin bercinta dengan lelaki tampan dari seluruh dunia.

Apakah hal itu membuatmu marah?

Tak perlu.

Tak satu pun dari kisah-kisah itu nyata.

Yah, ada yang nyata dan ada yang lebih nyata daripada yang lain. Mungkin kisah-kisah itu nyata untuk orang lain, semesta lain, irisan lain yang hidup dalam diriku. Mungkin kisah itu nyata andai saja aku tidak lupa membawa baju renang ke Prancis, dan karena itu segalanya akan jadi berbeda.

Mungkin menurutmu aku semestinya menguatkan hati dan menjauh dari godaan. Tetapi, mungkin itulah makna sebenarnya ingin mati, menolak apa pun yang ditawarkan dunia ini, berpaling dari orang-orang elok yang mungkin jadi kekasihmu dan kota-kota permai yang mungkin jadi rumahmu. Mungkin selama ini aku hanya mengira aku mencari kematian, padahal sebenarnya aku menjalani kehidupan yang sangat indah… Dan, astaga, betapa indahnya kehidupan yang kujalani!

Mungkin semua ini ada maknanya.

***

Komentar | Comment

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s